TBC adalah penyakit yang di masyarakat sering diidentikkan dengan kurang gizi, daerah kumuh, atau kemiskinan. Alhasil banyak yang merasa "gengsi" ketika mengalami penyakit ini.
Maka itu, banyak yang akhirnya salah menyebutkan penyakit ini sebagai "bronkitis" (peradangan saluran napas), yang merupakan penyakit berbeda. Padahal TBC dapat menyerang siapa saja dari golongan ekonomi mana pun dalam usia berapa pun sehingga harus diwaspadai semua orang.
Penyakit ini diakibatkan infeksi kuman mikobakterium tuberkulosis yang dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat mengakibatkan kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan kematian tertinggi di negeri ini.
Kali ini yang dibahas adalah TBC paru. TBC sangat mudah menular, yaitu lewat cairan di saluran napas yang keluar ke udara lewat batuk/bersin & dihirup oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak semua orang yang menghirup udara yang mengandung kuman TBC akan sakit.
Pada orang-orang yang memiliki tubuh yang sehat karena daya tahan tubuh yang tinggi dan gizi yang baik, penyakit ini tidak akan muncul dan kuman TBC akan "tertidur". Namun,pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun/ buruk, atau terus-menerus menghirup udara yang mengandung kuman TBC akibat lingkungan yang buruk, akan lebih mudah terinfeksi TBC (menjadi 'TBC aktif') atau dapat juga mengakibatkan kuman TBC yang "tertidur" di dalam tubuh dapat aktif kembali (reaktivasi).
Infeksi TBC yang paling sering, yaitu pada paru, sering kali muncul tanpa gejala apa pun yang khas, misalnya hanya batuk-batuk ringan sehingga sering diabaikan dan tidak diobati. Padahal, penderita TBC paru dapat dengan mudah menularkan kuman TBC ke orang lain dan kuman TBC terus merusak jaringan paru sampai menimbulkan gejala-gejala yang khas saat penyakitnya telah cukup parah.
Gejala-gejala TBC paru yang sering terjadi adalah batuk, demam ringan, penurunan berat badan, mudah lelah, selera makan turun, benjolan di leher, sampai berkeringat pada malam hari. Jika penyakit TBC bertambah parah, akan terjadi batuk yang disertai lendir dan darah.
Untuk mendiagnosis TBC, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama di daerah paru/dada, lalu dapat meminta pemeriksaan tambahan berupa foto rontgen dada, tes laboratorium untuk dahak dan darah, juga tes tuberkulin (mantoux/PPD). Pengobatan TBC adalah pengobatan jangka panjang, biasanya selama 6-9 bulan dengan paling sedikit 3 macam obat.
Kondisi ini diperlukan ketekunan dan kedisiplinan dari pasien untuk meminum obat dan kontrol ke dokter agar dapat sembuh total. Apalagi biasanya setelah 2-3 pekan meminum obat, gejala-gejala TBC akan hilang sehingga pasien menjadi malas meminum obat dan kontrol ke dokter.
Jika pengobatan TBC tidak tuntas, maka ini dapat menjadi berbahaya karena sering kali obat-obatan yang biasa digunakan untuk TBC tidak mempan pada kuman TBC (resisten). Akibatnya, harus diobati dengan obat-obat lain yang lebih mahal dan "keras". Hal ini harus dihindari dengan pengobatan TBC sampai tuntas.
Pengobatan jangka panjang untuk TBC dengan banyak obat tentunya akan menimbulkan dampak efek samping bagi pasien. Efek samping yang biasanya terjadi pada pengobatan TBC adalah nyeri perut, penglihatan/pendengaran terganggu, kencing seperti air kopi, demam tinggi, muntah, gatal-gatal dan kemerahan kulit, rasa panas di kaki/tangan, lemas, sampai mata/kulit kuning.
Itu sebabnya penting untuk selalu menyampaikan efek samping yang timbul pada dokter setiap kali kontrol sehingga dokter dapat menyesuaikan dosis, mengganti obat dengan yang lain, atau melakukan pemeriksaan laboratorium jika diperlukan.
Pengobatan untuk penyakit-penyakit lain selama pengobatan TBC pun sebaiknya harus diatur dokter untuk mencegah efek samping yang lebih serius/berbahaya. Penyakit TBC dapat dicegah dengan cara:
Perlu diingat bahwa mereka yang sudah pernah terkena TBC dan diobati, dapat kembali terkena penyakit yang sama jika tidak mencegahnya dan menjaga kesehatan tubuhnya.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Maka itu, banyak yang akhirnya salah menyebutkan penyakit ini sebagai "bronkitis" (peradangan saluran napas), yang merupakan penyakit berbeda. Padahal TBC dapat menyerang siapa saja dari golongan ekonomi mana pun dalam usia berapa pun sehingga harus diwaspadai semua orang.
Penyakit ini diakibatkan infeksi kuman mikobakterium tuberkulosis yang dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat mengakibatkan kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan kematian tertinggi di negeri ini.
Kali ini yang dibahas adalah TBC paru. TBC sangat mudah menular, yaitu lewat cairan di saluran napas yang keluar ke udara lewat batuk/bersin & dihirup oleh orang-orang di sekitarnya. Tidak semua orang yang menghirup udara yang mengandung kuman TBC akan sakit.
Pada orang-orang yang memiliki tubuh yang sehat karena daya tahan tubuh yang tinggi dan gizi yang baik, penyakit ini tidak akan muncul dan kuman TBC akan "tertidur". Namun,pada mereka yang mengalami kekurangan gizi, daya tahan tubuh menurun/ buruk, atau terus-menerus menghirup udara yang mengandung kuman TBC akibat lingkungan yang buruk, akan lebih mudah terinfeksi TBC (menjadi 'TBC aktif') atau dapat juga mengakibatkan kuman TBC yang "tertidur" di dalam tubuh dapat aktif kembali (reaktivasi).
Infeksi TBC yang paling sering, yaitu pada paru, sering kali muncul tanpa gejala apa pun yang khas, misalnya hanya batuk-batuk ringan sehingga sering diabaikan dan tidak diobati. Padahal, penderita TBC paru dapat dengan mudah menularkan kuman TBC ke orang lain dan kuman TBC terus merusak jaringan paru sampai menimbulkan gejala-gejala yang khas saat penyakitnya telah cukup parah.
Gejala-gejala TBC paru yang sering terjadi adalah batuk, demam ringan, penurunan berat badan, mudah lelah, selera makan turun, benjolan di leher, sampai berkeringat pada malam hari. Jika penyakit TBC bertambah parah, akan terjadi batuk yang disertai lendir dan darah.
Untuk mendiagnosis TBC, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama di daerah paru/dada, lalu dapat meminta pemeriksaan tambahan berupa foto rontgen dada, tes laboratorium untuk dahak dan darah, juga tes tuberkulin (mantoux/PPD). Pengobatan TBC adalah pengobatan jangka panjang, biasanya selama 6-9 bulan dengan paling sedikit 3 macam obat.
Kondisi ini diperlukan ketekunan dan kedisiplinan dari pasien untuk meminum obat dan kontrol ke dokter agar dapat sembuh total. Apalagi biasanya setelah 2-3 pekan meminum obat, gejala-gejala TBC akan hilang sehingga pasien menjadi malas meminum obat dan kontrol ke dokter.
Jika pengobatan TBC tidak tuntas, maka ini dapat menjadi berbahaya karena sering kali obat-obatan yang biasa digunakan untuk TBC tidak mempan pada kuman TBC (resisten). Akibatnya, harus diobati dengan obat-obat lain yang lebih mahal dan "keras". Hal ini harus dihindari dengan pengobatan TBC sampai tuntas.
Pengobatan jangka panjang untuk TBC dengan banyak obat tentunya akan menimbulkan dampak efek samping bagi pasien. Efek samping yang biasanya terjadi pada pengobatan TBC adalah nyeri perut, penglihatan/pendengaran terganggu, kencing seperti air kopi, demam tinggi, muntah, gatal-gatal dan kemerahan kulit, rasa panas di kaki/tangan, lemas, sampai mata/kulit kuning.
Itu sebabnya penting untuk selalu menyampaikan efek samping yang timbul pada dokter setiap kali kontrol sehingga dokter dapat menyesuaikan dosis, mengganti obat dengan yang lain, atau melakukan pemeriksaan laboratorium jika diperlukan.
Pengobatan untuk penyakit-penyakit lain selama pengobatan TBC pun sebaiknya harus diatur dokter untuk mencegah efek samping yang lebih serius/berbahaya. Penyakit TBC dapat dicegah dengan cara:
- Mengurangi kontak dengan penderita penyakit TBC aktif.
- Menjaga standar hidup yang baik, dengan makanan bergizi, lingkungan yang sehat,  dan berolahraga.
- Pemberian vaksin BCG (untuk mencegah kasus TBC yang lebih berat). Vaksin ini    secara rutin diberikan pada semua balita.
Perlu diingat bahwa mereka yang sudah pernah terkena TBC dan diobati, dapat kembali terkena penyakit yang sama jika tidak mencegahnya dan menjaga kesehatan tubuhnya.
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Comments