YANG menarik pada saat berbuka puasa adalah orang memilih atau mencari minuman dingin. Kalau ternyata tidak dingin, orang akan cari es batu. Apakah es batu baik untuk kesehatan?
Menurut dr Galih Sri Maharadjo SpPD, dari Rumah Sakit Bhineka Bhakti Husada, Tanggerang, konsumsi es pada saat berbuka puasa tidaklah tepat karena dapat mengganggu proses pencernaan.
“Tanpa puasa pun es mesti kita waspadai. Apalagi diterapkan pada orang yang berpuasa. Bukannya bagus, malah tidak mengena,” katanya.
Pada saat berpuasa terjadi penurunan kondisi tubuh. Tubuh menjadi lemah. “Orang berpuasa itu kondisinya kan lemah karena intake makanan berkurang, cairan berkurang. Begitu saatnya buka puasa, harusnya makanan bisa langsung diserap dan secepatnya diubah menjadi energi,” imbuh dr Galih.
Jika pada saat berbuka orang langsung minum es, bukan tidak mungkin tubuh menjadi lemas dan makanan tak langsung dapat diubah menjadi energi. Bahkan es dapat memicu influenza, demam, atau alergi.
Suplai Oksigen Tak Lancar
Organ saluran pencernaan atas terdiri atas rongga mulut dan kerongkongan. Kerongkongan bertugas menyalurkan makanan yang sudah dikunyah oleh gigi ke rongga mulut menuju lambung. Makanan yang melewati kerongkongan akan terdorong menuju lambung oleh gerakan peristaltik otot-otot kerongkongan. Gerakan tersebut terjadi karena dinding kerongkongan tersusun atas otot-otot polos yang memanjang serta berkontraksi secara bergantian. Itulah mengapa makanan dapat melewati kerongkongan.
Kalau es menjadi asupan pertama pada saat berbuka setelah seharian berpuasa –gerakan-gerakan peristaltik terganggu. Es akan membuat saluran pembuluh darah mengecil atau bahkan menutup. Kalau sudah demikian, gerakan otot-otot tak maksimal karena suplai oksigen dalam darah tidak lancar. Dan tidak tertutup kemungkinan muncul penyakit-penyakit saluran pencernaan atas seperti yang sudah disebutkan di atas.
“Es itu bikin pembuluh darah mengecil dan menutup. Padahal saluran tersebut penting untuk menyalurkan oksigen, makanan, darah, zat-zat antibodi. Begitu mengecil, suplai di saluran pencernaan atas berkurang, sehingga penyakit mudah datang. Radang tenggorokan, influenza. Kalau yang punya bakat alergi, langsung bisa alergi,” terang dr Galih.
Dampaknya berlanjut pada saluran pencernaan utama, yaitu lambung. Pada orang yang berpuasa, jumlah asam lambung mengalami peningkatan pada sore hari. Karena itulah, sangat diharapkan agar hidangan berbuka puasa dapat sesegera mungkin dicerna setelah sampai di lambung.
Namun hal ini agaknya sulit terjadi jika yang masuk adalah es. Es akan membuat makanan menjadi terbekukan.
“Otomatis makanan terbekukan,” imbuh dr Galih. Bila sudah demikian, otot-otot lambung yang berbentuk memanjang, melingkar, dan menyerong tak langsung dapat membolak-balikan makanan agar lebih halus lagi.
Sebabkan Obesitas
Dampaknya kembali berlanjut di usus halus, organ yang menyerap makanan. Usus sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu usus dua belas jari, usus kosong, dan usus penyerapan (ileum). Es membuat penyerapan makanan dalam usus halus terhambat. “Penyerapan makanan terhambat karena pembuluh darah mengecil. Kontraksi usus terhambat, sehingga penyerapan terhadap makanan terganggu,” kata dr Galih.
Pada kondisi normal, usus mampu menyerap sari makanan pada suhu normal. “Usus akan menyerap air ataupun sari makanan yang sudah sesuai dengan suhu tubuh. Kalau kondisi usus dingin, usus tidak langsung menyerap makanan, tapi justru membutuhkan energi untuk menyesuaikan suhu sari makanan atau air,” terang dr Galih.
Dalam kondisi demikian, lemak justru terserap terlebih dahulu daripada sari makan. “Yang terserap cepat justru lemak,” katanya. Dan bila hal ini terjadi selama Ramadan, dampak yang paling mungkin terjadi adalah obesitas.
“Dampak jauhnya obesitas karena terlalu sering banyak lemak yang terserap,” tukas dr Galih. Apalagi kalau makanan yang dikonsumsi mengandung banyak lemak.
Dampak timbunan lemak ini pun beragam pada setiap orang karena penyerapan terhadap lemak berbeda-beda. Ada yang sangat mudah, ada yang cukup sulit. Yang pasti, perbedaan berat badan cukup signifikan. “Lamanya waktu tidak bisa dipastikan. Bisa-bisa habis Lebaran berat badan langsung meningkat. Tidak semua orang sama. Itu sangat relatif. Dan pertumbuhan berat badan karena lemak tersebut cukup signifikan,” tambah dr Galih.
Suhu air yang paling baik untuk yang sedang berpuasa minimal suhu kamar, yaitu 25 derajat Celsius. Dan akan lebih baik lagi bila hangat. Sedikit lebih tinggi daripada suhu kamar. “Suhu yang paling bagus adalah suhu kamar 25 derajat Celsius. Atau kalau mau hangat di atas itu,” lanjutnya.
Dengan suhu yang hangat diharapkan proses pencernaan yang melibatkan reaksi kimia seperti yang terjadi pada usus dua belas jari atau usus kosong menjadi lebih lancar. Seperti diketahui, pada suhu yangn lebih tinggi reaksi kimia akan berjalan lebih cepat.
(Genie/Genie/tty)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Menurut dr Galih Sri Maharadjo SpPD, dari Rumah Sakit Bhineka Bhakti Husada, Tanggerang, konsumsi es pada saat berbuka puasa tidaklah tepat karena dapat mengganggu proses pencernaan.
“Tanpa puasa pun es mesti kita waspadai. Apalagi diterapkan pada orang yang berpuasa. Bukannya bagus, malah tidak mengena,” katanya.
Pada saat berpuasa terjadi penurunan kondisi tubuh. Tubuh menjadi lemah. “Orang berpuasa itu kondisinya kan lemah karena intake makanan berkurang, cairan berkurang. Begitu saatnya buka puasa, harusnya makanan bisa langsung diserap dan secepatnya diubah menjadi energi,” imbuh dr Galih.
Jika pada saat berbuka orang langsung minum es, bukan tidak mungkin tubuh menjadi lemas dan makanan tak langsung dapat diubah menjadi energi. Bahkan es dapat memicu influenza, demam, atau alergi.
“Yang langsung dirasakan, ya, biasanya bersin-bersin, pilek, batuk, lemas, sakit tenggorokan karena itu yang langsung masuk. Gejala lanjut bisa mual dan muntas. Dan semua gejala penyakit saluran pencernaan atas,” kata dr Galih.
Suplai Oksigen Tak Lancar
Organ saluran pencernaan atas terdiri atas rongga mulut dan kerongkongan. Kerongkongan bertugas menyalurkan makanan yang sudah dikunyah oleh gigi ke rongga mulut menuju lambung. Makanan yang melewati kerongkongan akan terdorong menuju lambung oleh gerakan peristaltik otot-otot kerongkongan. Gerakan tersebut terjadi karena dinding kerongkongan tersusun atas otot-otot polos yang memanjang serta berkontraksi secara bergantian. Itulah mengapa makanan dapat melewati kerongkongan.
Kalau es menjadi asupan pertama pada saat berbuka setelah seharian berpuasa –gerakan-gerakan peristaltik terganggu. Es akan membuat saluran pembuluh darah mengecil atau bahkan menutup. Kalau sudah demikian, gerakan otot-otot tak maksimal karena suplai oksigen dalam darah tidak lancar. Dan tidak tertutup kemungkinan muncul penyakit-penyakit saluran pencernaan atas seperti yang sudah disebutkan di atas.
“Es itu bikin pembuluh darah mengecil dan menutup. Padahal saluran tersebut penting untuk menyalurkan oksigen, makanan, darah, zat-zat antibodi. Begitu mengecil, suplai di saluran pencernaan atas berkurang, sehingga penyakit mudah datang. Radang tenggorokan, influenza. Kalau yang punya bakat alergi, langsung bisa alergi,” terang dr Galih.
Dampaknya berlanjut pada saluran pencernaan utama, yaitu lambung. Pada orang yang berpuasa, jumlah asam lambung mengalami peningkatan pada sore hari. Karena itulah, sangat diharapkan agar hidangan berbuka puasa dapat sesegera mungkin dicerna setelah sampai di lambung.
Namun hal ini agaknya sulit terjadi jika yang masuk adalah es. Es akan membuat makanan menjadi terbekukan.
“Otomatis makanan terbekukan,” imbuh dr Galih. Bila sudah demikian, otot-otot lambung yang berbentuk memanjang, melingkar, dan menyerong tak langsung dapat membolak-balikan makanan agar lebih halus lagi.
Sebabkan Obesitas
Dampaknya kembali berlanjut di usus halus, organ yang menyerap makanan. Usus sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu usus dua belas jari, usus kosong, dan usus penyerapan (ileum). Es membuat penyerapan makanan dalam usus halus terhambat. “Penyerapan makanan terhambat karena pembuluh darah mengecil. Kontraksi usus terhambat, sehingga penyerapan terhadap makanan terganggu,” kata dr Galih.
Pada kondisi normal, usus mampu menyerap sari makanan pada suhu normal. “Usus akan menyerap air ataupun sari makanan yang sudah sesuai dengan suhu tubuh. Kalau kondisi usus dingin, usus tidak langsung menyerap makanan, tapi justru membutuhkan energi untuk menyesuaikan suhu sari makanan atau air,” terang dr Galih.
Dalam kondisi demikian, lemak justru terserap terlebih dahulu daripada sari makan. “Yang terserap cepat justru lemak,” katanya. Dan bila hal ini terjadi selama Ramadan, dampak yang paling mungkin terjadi adalah obesitas.
“Dampak jauhnya obesitas karena terlalu sering banyak lemak yang terserap,” tukas dr Galih. Apalagi kalau makanan yang dikonsumsi mengandung banyak lemak.
Dampak timbunan lemak ini pun beragam pada setiap orang karena penyerapan terhadap lemak berbeda-beda. Ada yang sangat mudah, ada yang cukup sulit. Yang pasti, perbedaan berat badan cukup signifikan. “Lamanya waktu tidak bisa dipastikan. Bisa-bisa habis Lebaran berat badan langsung meningkat. Tidak semua orang sama. Itu sangat relatif. Dan pertumbuhan berat badan karena lemak tersebut cukup signifikan,” tambah dr Galih.
Suhu air yang paling baik untuk yang sedang berpuasa minimal suhu kamar, yaitu 25 derajat Celsius. Dan akan lebih baik lagi bila hangat. Sedikit lebih tinggi daripada suhu kamar. “Suhu yang paling bagus adalah suhu kamar 25 derajat Celsius. Atau kalau mau hangat di atas itu,” lanjutnya.
Dengan suhu yang hangat diharapkan proses pencernaan yang melibatkan reaksi kimia seperti yang terjadi pada usus dua belas jari atau usus kosong menjadi lebih lancar. Seperti diketahui, pada suhu yangn lebih tinggi reaksi kimia akan berjalan lebih cepat.
(Genie/Genie/tty)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Comments