TERKENAL sebagai penyakit mematikan keenam di dunia, sebagian besar kanker hati terdiagnosa pada stadium medium dan lanjut. Sebab pada tahap awal perkembangannya, penyakit ini tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas.
Dari 632 ribu kasus kanker hati di dunia yang terdiagnosa setiap tahun, sekira 450 ribu dilaporkan di Asia Pasifik, lebih dari 70 persen. Di Indonesia, menurut data Globocan 2008, terdapat 13.238 kasus kanker hati dengan angka kematian mencapai 12.825.
"Kanker hati penyakit kanker nomor enam di dunia, dan dalam hal mematikan pasien itu ketiga di dunia. Kanker hati paling sering dialami oleh orang dewasa. Asia menyumbang kanker hati terbesar di dunia, total 485.462 per tahun. Ini ada kaitannya dengan prevalansi utamanya yang sering berhubungan dengan hepatitis B dan C. Selain itu, laki-laki paling banyak terkena kanker hati daripada wanita," papar dokter berkacamata ini.
Hepatitis B paling sering menjadi risiko tinggi dalam kasus kanker hati di negara Asia, sementara hepatitis C di negara Eropa dan Amerika Utara.
"Paling sering hepatitis B, baru hepatitis C. Lalu hemochromatosis (penumpukan zat besi dalam tubuh), paparan jangka panjang aflatoxins (toksin pada kacang tanah), dan sirosis. Dari penyebab itu bisa terjadi kanker hati, tapi prosesnya panjang," papar peraih PdH dari Kobe Jepang itu.
Dalam situasi di mana penyakit tidak lagi dapat disembuhkan, maka pengobatan kanker difokuskan pada usaha memperpanjang usia pasien dengan tetap menjaga serta meningkatkan kualitas hidup mereka melalui terapi-terapi yang telah terbukti secara klinis dan bermanfaat.
"Untuk menjadi kanker hati membutuhkan tahap yang panjang. Kita juga bisa mengetahuinya dengan screening apakah ada hepatitis B atau C. Selain itu mengetahui gejala-gejalanya seperti rasa sakit di sekitar bahu kanan atas, ada rasa eneg atau muntah-muntah, kehilangan nafsu makan, turun berat badan dengan cara singkat, kuning, dan gatal-gatal," imbuhnya.
Untuk mendukung upaya itu, Bayer HealthCare dan Yayasan Kanker Indonesia berkolaborasi dalam sebuah program khusus yang membantu pasien agar dapat melanjutkan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan pasien berobat, melalui program bantuan pasien yang disebut NexPAP, yang saat ini memasuki tahun ketiga.
"Yayasan Kanker Indonesia sangat mendukung program NexPAP karena telah terbukti dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan tercapainya durasi pengobatan yang lebih panjang serta kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan. Dengan biaya yang lebih ringan, program ini akan mengurangi beban penderita kanker hati dan kanker ginjal, selain memberikan harapan positif bagi pasien untuk hidup lebih lama dan berkualitas bersama keluarga," kata Adiati A Siregar, Ketua Yayasan Kanker Indonesia dalam rilisnya.
Senada dengan Adiati, Prof dr Ali Sulaiman dari Klinik Hati mengatakan, "Pada pasien hati stadium lanjut, operasi sebagai sebuah metode paling efektif dalam penanganan kanker tidak lagi dapat dilakukan. Pada tahap ini, terapi target sangat memegang peranan penting untuk meningkatkan harapan hidup dan menjaga kualitas hidup penderita kanker hati selama mungkin."
Terapi target bekerja dengan cara menghambat molekul tertentu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kanker. Terapi target membantu pasien mentoleransi terapi sistemik dan meningkatkan kontrol terhadap gejala. Meski tidak dapat menyembuhkan total, namun pendekatan ini dapat memperlambat, menghentikan, atau pada beberapa kasus tertentu menurunkan perkembangan kanker sehingga pasien dapat mengendalikan kanker mereka hingga jangka panjang.
Setelah diperkenalkannya Sorafenib enam tahun lalu, banyak pasien kanker hati yang dapat hidup lebih lama berkat terapi target yang dapat menghambat enzim pemicu pertumbuhan tumor ini.
"Sorafenib merupakan penghambatan protein kinase sehingga menghambat signal yang akan merangsang pertumbuhan tumor dan pertumbuhan pembuluh darah. Diputuskan proses sehingga tidak terjadi pertumbuhan dari tumor," paparnya.
Sorafenib merupakan pengobatan oral pertama di dunia yang disetujui untuk pengobatan kanker hati dan kanker ginjal dan di 94 negara untuk pengobatan kanker hati. Sampai hari ini, lebih dari 100 ribu pasien di seluruh dunia telah menjalankan pengobatan dengan sorafenib.
Sorafenib merupakan terapi oral dengan sasaran sel tumor dan sistem pendarahan tumor untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Selain mengobati kanker hati stadium lanjut, obat ini juga digunakan untuk terapi kanker ginjal stadium lanjut. Sorafenib telah disetujui dilebih dari 40 negara bagi pengobatan untuk pasien penderita kanker hati yang tidak dapat dioperasi dan di lebih dari 70 negara untuk pengobatan bagi penderita kanker ginjal stadium lanjut.
Sorafenib bekerja dengan cara membidik sel tumor dan sistem pendarahan tumor. Dalam sebuah uji preklinis, Sorafenib terbukti mampu menghambat dua jenis kinase yakni profilerasi sel dan angiogenesis (pembentukan pembuluh darah) di mana keduanya berperan besar dalam proses pertumbuhan kanker. Proses ini penting pula bagi sel normal, sehingga terapi target dari Sorafenib juga bisa memengaruhi beberapa sel normal.
Menurut Prof Ali, meski cukup aman digunakan, Sorafenib tetap memiliki efek samping bagi penggunanya.
"Efek samping yang mungkin timbul di antaranya diare, rasa sakit seperti terbakar, dan mati rasa," terang dokter dari Divisi Hematologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI/RSCM).
Berdasarkan uji klinis SHARP (Sorafenib HCC Assessment Randomized Protocol), Sorafenib terbukti dapat memperpanjang tingkat keselamatan pasien kanker hati stadium lanjut sebanyak 44 persen dibandingkan dengan plasebo.
Rata-rata kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah 10,7 bulan pada pasien yang diobati dengan Sorafenib dibandingkan dengan 7,9 bulan pada pasien yang diobati dengan plasebo. Saat ini Sorafenib juga tengah diteliti untuk penanganan semua spektrum kanker hati sebagai pengobatan tambahan pengobatan kombinasi, dan pengobatan yang diberikan sebelum pengobatan utama (neoadhuvant).
Penelitian yang sedang berlangsung di antaranya adalah studi START (Study in Asia of the Combination ogf TACE with Sorafenib in patients with hepatocellular carcinoma Trial) yang menguji keampuhan dan keamanan Sorafenib yang dikombinasikan dengan TACE konvensional untuk pengobatan kanker hati stadium menengah pada 200 penderita HCC di Asia.
Selain melakukan penelitian terus-menerus untuk mencari potensi lain Sorafenib sebagai pengobatan kanker jenis lain seperti tiroid, kanker paru jenis non small cell, leukimia mieloid akut, serta kanker payudara, BayerHealthCare juga melakukan pendekatan dengan organisasi, pemerintah, dan para tenaga medis di seluruh dunia melalui berbagai kegiatan edukasi sebagai wujud dari komitmennya bagi pengobatan kanker.
(nsa)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
"Jika sel dari hati mengalami suatu pertumbuhan dan membelah dengan tidak berhenti, maka penderitanya mengalami kanker hati. Biasanya dengan kondisi normal, sel tumbuh dan stop sendiri dengan perusakan. Kalau kanker hati terus tumbuh dan merusak sel-sel yang tumbuh, kumpulan ini disebut sel tumor. Ada yang bersifat terus tumbuh dan bersifat jinak lambat, tumbuhnya tidak membahayakan, ada yang ganas, ada juga yang menyerang langsung ke hati, paru, disebut kanker hati," kata Prof dr H Ali Sulaiman PgD SpPD KGEH FACG saat acara bertema “Meningkatkan Harapan Hidup Pasien Kanker Hati dengan Terapi Target”, Mid Plaza Hotel, Jakarta, Selasa (1/2/2011).
Dari 632 ribu kasus kanker hati di dunia yang terdiagnosa setiap tahun, sekira 450 ribu dilaporkan di Asia Pasifik, lebih dari 70 persen. Di Indonesia, menurut data Globocan 2008, terdapat 13.238 kasus kanker hati dengan angka kematian mencapai 12.825.
"Kanker hati penyakit kanker nomor enam di dunia, dan dalam hal mematikan pasien itu ketiga di dunia. Kanker hati paling sering dialami oleh orang dewasa. Asia menyumbang kanker hati terbesar di dunia, total 485.462 per tahun. Ini ada kaitannya dengan prevalansi utamanya yang sering berhubungan dengan hepatitis B dan C. Selain itu, laki-laki paling banyak terkena kanker hati daripada wanita," papar dokter berkacamata ini.
Hepatitis B paling sering menjadi risiko tinggi dalam kasus kanker hati di negara Asia, sementara hepatitis C di negara Eropa dan Amerika Utara.
"Paling sering hepatitis B, baru hepatitis C. Lalu hemochromatosis (penumpukan zat besi dalam tubuh), paparan jangka panjang aflatoxins (toksin pada kacang tanah), dan sirosis. Dari penyebab itu bisa terjadi kanker hati, tapi prosesnya panjang," papar peraih PdH dari Kobe Jepang itu.
Dalam situasi di mana penyakit tidak lagi dapat disembuhkan, maka pengobatan kanker difokuskan pada usaha memperpanjang usia pasien dengan tetap menjaga serta meningkatkan kualitas hidup mereka melalui terapi-terapi yang telah terbukti secara klinis dan bermanfaat.
"Untuk menjadi kanker hati membutuhkan tahap yang panjang. Kita juga bisa mengetahuinya dengan screening apakah ada hepatitis B atau C. Selain itu mengetahui gejala-gejalanya seperti rasa sakit di sekitar bahu kanan atas, ada rasa eneg atau muntah-muntah, kehilangan nafsu makan, turun berat badan dengan cara singkat, kuning, dan gatal-gatal," imbuhnya.
Untuk mendukung upaya itu, Bayer HealthCare dan Yayasan Kanker Indonesia berkolaborasi dalam sebuah program khusus yang membantu pasien agar dapat melanjutkan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan pasien berobat, melalui program bantuan pasien yang disebut NexPAP, yang saat ini memasuki tahun ketiga.
"Yayasan Kanker Indonesia sangat mendukung program NexPAP karena telah terbukti dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan tercapainya durasi pengobatan yang lebih panjang serta kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan. Dengan biaya yang lebih ringan, program ini akan mengurangi beban penderita kanker hati dan kanker ginjal, selain memberikan harapan positif bagi pasien untuk hidup lebih lama dan berkualitas bersama keluarga," kata Adiati A Siregar, Ketua Yayasan Kanker Indonesia dalam rilisnya.
Senada dengan Adiati, Prof dr Ali Sulaiman dari Klinik Hati mengatakan, "Pada pasien hati stadium lanjut, operasi sebagai sebuah metode paling efektif dalam penanganan kanker tidak lagi dapat dilakukan. Pada tahap ini, terapi target sangat memegang peranan penting untuk meningkatkan harapan hidup dan menjaga kualitas hidup penderita kanker hati selama mungkin."
Terapi target bekerja dengan cara menghambat molekul tertentu yang membantu pertumbuhan dan perkembangan kanker. Terapi target membantu pasien mentoleransi terapi sistemik dan meningkatkan kontrol terhadap gejala. Meski tidak dapat menyembuhkan total, namun pendekatan ini dapat memperlambat, menghentikan, atau pada beberapa kasus tertentu menurunkan perkembangan kanker sehingga pasien dapat mengendalikan kanker mereka hingga jangka panjang.
Setelah diperkenalkannya Sorafenib enam tahun lalu, banyak pasien kanker hati yang dapat hidup lebih lama berkat terapi target yang dapat menghambat enzim pemicu pertumbuhan tumor ini.
"Sorafenib merupakan penghambatan protein kinase sehingga menghambat signal yang akan merangsang pertumbuhan tumor dan pertumbuhan pembuluh darah. Diputuskan proses sehingga tidak terjadi pertumbuhan dari tumor," paparnya.
Sorafenib merupakan pengobatan oral pertama di dunia yang disetujui untuk pengobatan kanker hati dan kanker ginjal dan di 94 negara untuk pengobatan kanker hati. Sampai hari ini, lebih dari 100 ribu pasien di seluruh dunia telah menjalankan pengobatan dengan sorafenib.
Sorafenib merupakan terapi oral dengan sasaran sel tumor dan sistem pendarahan tumor untuk dikonsumsi dalam jangka panjang. Selain mengobati kanker hati stadium lanjut, obat ini juga digunakan untuk terapi kanker ginjal stadium lanjut. Sorafenib telah disetujui dilebih dari 40 negara bagi pengobatan untuk pasien penderita kanker hati yang tidak dapat dioperasi dan di lebih dari 70 negara untuk pengobatan bagi penderita kanker ginjal stadium lanjut.
Sorafenib bekerja dengan cara membidik sel tumor dan sistem pendarahan tumor. Dalam sebuah uji preklinis, Sorafenib terbukti mampu menghambat dua jenis kinase yakni profilerasi sel dan angiogenesis (pembentukan pembuluh darah) di mana keduanya berperan besar dalam proses pertumbuhan kanker. Proses ini penting pula bagi sel normal, sehingga terapi target dari Sorafenib juga bisa memengaruhi beberapa sel normal.
Menurut Prof Ali, meski cukup aman digunakan, Sorafenib tetap memiliki efek samping bagi penggunanya.
"Efek samping yang mungkin timbul di antaranya diare, rasa sakit seperti terbakar, dan mati rasa," terang dokter dari Divisi Hematologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (FKUI/RSCM).
Berdasarkan uji klinis SHARP (Sorafenib HCC Assessment Randomized Protocol), Sorafenib terbukti dapat memperpanjang tingkat keselamatan pasien kanker hati stadium lanjut sebanyak 44 persen dibandingkan dengan plasebo.
Rata-rata kelangsungan hidup secara keseluruhan adalah 10,7 bulan pada pasien yang diobati dengan Sorafenib dibandingkan dengan 7,9 bulan pada pasien yang diobati dengan plasebo. Saat ini Sorafenib juga tengah diteliti untuk penanganan semua spektrum kanker hati sebagai pengobatan tambahan pengobatan kombinasi, dan pengobatan yang diberikan sebelum pengobatan utama (neoadhuvant).
Penelitian yang sedang berlangsung di antaranya adalah studi START (Study in Asia of the Combination ogf TACE with Sorafenib in patients with hepatocellular carcinoma Trial) yang menguji keampuhan dan keamanan Sorafenib yang dikombinasikan dengan TACE konvensional untuk pengobatan kanker hati stadium menengah pada 200 penderita HCC di Asia.
Selain melakukan penelitian terus-menerus untuk mencari potensi lain Sorafenib sebagai pengobatan kanker jenis lain seperti tiroid, kanker paru jenis non small cell, leukimia mieloid akut, serta kanker payudara, BayerHealthCare juga melakukan pendekatan dengan organisasi, pemerintah, dan para tenaga medis di seluruh dunia melalui berbagai kegiatan edukasi sebagai wujud dari komitmennya bagi pengobatan kanker.
(nsa)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Comments