DAYA tahan tubuh anak dalam masa pertumbuhan wajib menjadi perhatian orangtua. Pasalnya, anak yang daya tahan tubuhnya buruk mudah terkena alergi.
Dalam lima dekade terakhir di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terjadi tren penurunan angka penyakit infeksi, seperti tuberculosis dan campak. Namun sebaliknya, terjadi peningkatan signifikan angka penyakit gangguan sistem daya tahan tubuh, seperti alergi.
Hal senada diungkap oleh Profeseor Sibylle Koletzko, kepala divisi "Pediatric Gastroenterology and Hepatology" Ludwig Maximilians University Munic, Jerman.
"Penyakit alergi sangat erat dengan daya tahan tubuh anak. Alergi adalah respons sistim daya tahan tubuh secara berlebihan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya, yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh, mulai dari gangguan pernafasan, gangguan pada saluran cerna maupun kulit. Pada usia dini, tanda-tanda reaksi alergi biasanya adalah infeksi kulit (seperti ruam merah) dan gangguan saluran cerna (muntah dan sebagainya). Dengan bertambahnya usia, reaksi alergi utama adalah pada sistem pernafasan, seperti asma serta rhinitis," jelasnya saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Selasa (6/7/2010).
Menjelaskan penyebab terjadinya alergi, Koletzko menyebutkan ada lima makanan pencetus alergi.
"Untuk Indonesia, lima besar makanan pencetus alergi pada anak-anak adalah kelompok crustacea (kepiting, udang) kacang, makanan laut, telur, serta susu sapi. Sangat penting mengetahui jenis makanan yang dapat mencetuskan alergi karena menghindari makanan pencetus terjadinya alergi (eliminasi) merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya alergi," lanjutnya.
Profesor Koletzko pun menyampaikan bahwa faktor penyebab alergi hingga saat ini belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun dalam beberapa penelitian menunjukkan, faktor genetik, pola makan, gaya hidup, lingkungan, paparan asap rokok selama kehamilan dan periode usia tahun pertama merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi pada anak.
Berdasarkan pemaparannya, dari faktor genetik, anak yang lahir dari orangtua yang juga memiliki alergi berisiko terkena alergi dengan frekuensi risiko mencapai 40-80 persen.
Konsultan alergi-imunologi anak, Dr Zakiudin Munasir juga mengingatkan penting bagi para orangtua, khususnya para ibu untuk melakukan tindakan preventif pada masa kehamilan, kelahiran, maupun pada masa kanak-kanak.
"Melonjaknya kasus alergi pada anak, di Indonesia, selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan gaya hidup orangtuanya. Sangat penting bagi ibu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif pada masa kehamilan, kelahiran maupun pada masa kanak-kanak, karena jika kita memiliki alergi pada masa kanak-kanak, maka pada saat kita beranjak dewasa risiko terkena alergi pun juga akan besar," tegasnya.
Pada anak bayi, kecenderungan meningkatnya alergi bermula pada pemberian susu sapi. Mencegah alergi terjadi pada buah hati Anda, Dr Zakiudin menyebutkan para orangtua bisa mencoba alternatif lain dengan susu hidrolisis.
"Jika si ibu tidak bisa memberikan ASI, maka bisa diberikan susu yang hidrolisis karena proteinnya sudah terpecah-pecah dan bisa mengurangi alergi. Tapi jika si ibu ada bakat alergi, maka sudah seharusnya berkonsultasi ke dokter," tandasnya.
(tty)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Dalam lima dekade terakhir di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terjadi tren penurunan angka penyakit infeksi, seperti tuberculosis dan campak. Namun sebaliknya, terjadi peningkatan signifikan angka penyakit gangguan sistem daya tahan tubuh, seperti alergi.
Hal senada diungkap oleh Profeseor Sibylle Koletzko, kepala divisi "Pediatric Gastroenterology and Hepatology" Ludwig Maximilians University Munic, Jerman.
"Penyakit alergi sangat erat dengan daya tahan tubuh anak. Alergi adalah respons sistim daya tahan tubuh secara berlebihan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya, yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh, mulai dari gangguan pernafasan, gangguan pada saluran cerna maupun kulit. Pada usia dini, tanda-tanda reaksi alergi biasanya adalah infeksi kulit (seperti ruam merah) dan gangguan saluran cerna (muntah dan sebagainya). Dengan bertambahnya usia, reaksi alergi utama adalah pada sistem pernafasan, seperti asma serta rhinitis," jelasnya saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat, Selasa (6/7/2010).
Menjelaskan penyebab terjadinya alergi, Koletzko menyebutkan ada lima makanan pencetus alergi.
"Untuk Indonesia, lima besar makanan pencetus alergi pada anak-anak adalah kelompok crustacea (kepiting, udang) kacang, makanan laut, telur, serta susu sapi. Sangat penting mengetahui jenis makanan yang dapat mencetuskan alergi karena menghindari makanan pencetus terjadinya alergi (eliminasi) merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya alergi," lanjutnya.
Profesor Koletzko pun menyampaikan bahwa faktor penyebab alergi hingga saat ini belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun dalam beberapa penelitian menunjukkan, faktor genetik, pola makan, gaya hidup, lingkungan, paparan asap rokok selama kehamilan dan periode usia tahun pertama merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya alergi pada anak.
Berdasarkan pemaparannya, dari faktor genetik, anak yang lahir dari orangtua yang juga memiliki alergi berisiko terkena alergi dengan frekuensi risiko mencapai 40-80 persen.
Konsultan alergi-imunologi anak, Dr Zakiudin Munasir juga mengingatkan penting bagi para orangtua, khususnya para ibu untuk melakukan tindakan preventif pada masa kehamilan, kelahiran, maupun pada masa kanak-kanak.
"Melonjaknya kasus alergi pada anak, di Indonesia, selain disebabkan oleh faktor genetik, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan gaya hidup orangtuanya. Sangat penting bagi ibu untuk melakukan tindakan-tindakan preventif pada masa kehamilan, kelahiran maupun pada masa kanak-kanak, karena jika kita memiliki alergi pada masa kanak-kanak, maka pada saat kita beranjak dewasa risiko terkena alergi pun juga akan besar," tegasnya.
Pada anak bayi, kecenderungan meningkatnya alergi bermula pada pemberian susu sapi. Mencegah alergi terjadi pada buah hati Anda, Dr Zakiudin menyebutkan para orangtua bisa mencoba alternatif lain dengan susu hidrolisis.
"Jika si ibu tidak bisa memberikan ASI, maka bisa diberikan susu yang hidrolisis karena proteinnya sudah terpecah-pecah dan bisa mengurangi alergi. Tapi jika si ibu ada bakat alergi, maka sudah seharusnya berkonsultasi ke dokter," tandasnya.
(tty)
Sumber: www.lifestyle.okezone.com
Comments