Skip to main content

Jangan Anggap Enteng Keluhan Nyeri Sendi

AR merupakan penyakit otoimun yang menyebabkan peradangan sendi kronik. Penyakit otoimun adalah keadaan di mana sistem imun salah mengenal dan malah menyerang jaringan tubuh yang normal.

Pada AR terjadi pula peradangan di organ tubuh lainnya. Meski demikian, AR sebenarnya berbeda dengan penyakit rematik. Namun, rematik akibat peradangan ini sampai sekarang tidak diketahui penyebabnya.

“Besar dugaan karena faktor genetik serta infeksi dan sejumlah faktor lingkungan yang merangsang sistem imun untuk menyerang jaringan tubuh yang normal,” papar Prof Dr Harry Isbagjo SpPDKR pada acara media edukasi dalam rangka memperingati hari Artritis Sedunia di Hotel Borobudur (11/10).



Sakit pinggang bisa menjadi indikasi AR
Bukan hanya orangtua yang harus waspada dengan penyakit ini. Kenyataannya, AR menyerang semua usia, namun memang meningkat pada usia muda hingga usia pertengahan. Usia terbanyak penderita penyakit ini adalah antara 5-60 tahun.Wanita juga harus lebih hati-hati, sebab mereka berisiko terkena 3-4 kali lipat. Hal ini dikarenakan pengaruh hormon meski tidak sepenuhnya.

Selain bengkak dan kemerahan, gejala penyakit ini adalah nyeri pada banyak sendi. Kebanyakan sendi yang diserang simetris atau kiri kanan. Misalkan pundak kiri dan kanan atau kedua bagian tangan.

Ciri khas lainnya, adanya benjolan-benjolan (nodul rematik) serta rasa kelelahan. Di Indonesia, penyakit ini menyerang semua etnik dengan angka kejadian berbeda, yakni antara 0,3 hingga 5%. Sementara itu, 20-300 orang dari 100.000 orang per tahun terkena AR.

Jadi, bisa dikatakan ada sekitar 360.000 pasien AR di Indonesia. Bandingkan dengan prevalensi penderita asam urat ataupun osteoartritis. Meskipun prevalensi penderita AR terbilang rendah, namun penyakit ini sangat progresif.

Beban yang harus dihadapi penderita AR pun cukup berat. Sekitar 70% penderita AR mengaku terserang nyeri sendi setiap hari,kaku sendi,serta menurunnya kualitas hidup yakni 88–98% penderita AR kelelahan berkepanjangan akibat nyeri dan penyakit sistemik (anema, depresi).

Yang lebih parah lagi,penyakit ini dapat berujung pada kecacatan, disablitas, dan handicap. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada enam bulan pertama terserang penyakit ini. Cacat terjadi 2-3 tahun bila tidak diobati.

Sayangnya, Harry mengatakan, banyak di antara pasien yang datang sudah dalam keadaan cacat sehingga sulit untuk disembuhkan. Dikatakan guru besar Divisi Reumatologi FKUI/RSCM ini, di samping beban yang harus dihadapi, ada sejumlah tantangan lain yang juga menghadang pasien AR.

Di antaranya risiko penyakit jantung 2x lipat dan 70% mengalami stroke, 70% pasien mengalami infeksi, risiko osteoporosis lebih tinggi, hingga risiko terkena kanker getah bening sampai 25x lipat.

“Jadi, pasien bisa saja meninggal bukan karena rematiknya, namun karena jantung,” ungkap Dr Bambang Setiyohadi SpPD KR.

Belum ada obat yang dapat menyembuhkanpenyakittersebut. Hingga kini dokter di seluruh dunia sedang mengusahakannya. Namun, pasien bisa dikondisikan tidak membutuhkan obat-obatan dalam jangka panjang.

Hal ini guna tercapainya remisi, dengan cara mengurangi nyeri, mengurangi inflamasi atau peradangan, menghentikan kerusakan sendi, memperbaiki fungsi sendi, dan membuat pasien nyaman. Bambang pun menyarankan kepada penderita AR untuk menjalani terapi secara dini dan agresif.

Namun perlu diketahui, terapi tidak dapat memperbaiki kerusakan yang telah terjadi atau menyembuhkan penyakitnya. Namun, pengobatan dini terbukti menentukan keberhasilan terapi. Sementara pengobatan agresif dapat memperbaiki fungsi sendi, mencegah cacat, dan disabilitas.

“Pengobatan juga akan lebih berhasil bila ada kerja sama antara dokter, pasien, dan anggota keluarga,” kata Bambang.

Ada dua macam pengobatan AR yakni farmakologik dan nonfarmakologik. Obat farmakologik seperti penghilang nyeri dan radang ataupun obat pengubah perjalanan. Obat-obatan ini bersifat simtomatik atau hanya mengurangi gejala semata. Seperti mencegah kerusakan sendi, namun dengan efek samping yang besar.

Contohnya, kerusakan pada lambung atau muntah darah. Namun sejak ada disease modifying arthritis rheumatoid drug (DMARD) konvensional, efek samping ini dapat teratasi. Adapun nonfarmakologik merupakan terapi yang meliputi proteksi sendi, fisioterapi, rehabilitasi, psikoterapi, hingga pembedahan.



(SINDO//nsa)
http://lifestyle.okezone.com

Comments

Popular posts from this blog

Waspadai Bercak Putih di Retina Mata Anak

BERCAK putih di retina mata anak bisa jadi penanda awal keganasan kanker bola mata. Ini harus segera diwaspadai. Jika dilihat sepintas, tak ada yang aneh dengan Abiyyu, 12 tahun. Seperti anak-anak lain seusianya, bocah lelaki kelas enam SD Surya Bahari, Tangerang, ini tampak ceria bermain petak umpet, ikut senam kesegaran jasmani di sekolah, bertanding sepak bola, dan menjaring serangga di lapangan. Bersama dua temannya, dia juga tampak kompak menyanyikan lagu Oke milik duo T2 sambil sesekali terdengar gelak tawa khas keceriaan anak-anak. Bercak Putih Pada Mata - Tanda Kanker Retina Lantas, apa yang berbeda dari Abiyyu? Di balik kacamata yang senantiasa dikenakannya, siapa sangka bila bocah bernama lengkap Achmad Abiyyu Sofyan ini hanya punya satu mata kiri untuk melihat. Empat tahun lalu, keganasan kanker bola mata membuat Abiyyu harus merelakan bola mata kanannya diangkat untuk kemudian digantikan mata palsu yang hanya kosmetik semata. "Kata dokter, kalau tidak diangkat,

"Kok, mata anakku sering berair, ya?"

PADA bayi, saluran air mata kadang belum sempurna. Pada saat normal, air mata keluar dari kelenjar lacrimalis (memproduksi air mata) yang bertujuan agar air mata selalu basah dan lembap. Kemudian, air mata ini keluar melalui saluran di bagian ujung mata bagian dalam (medial) dan masuk melalui hidung. Secara normal, kita tidak merasa air mata itu berproduksi terus karena produksi dan pengeluarannya teratur. Keadaan berubah bila produksi air mata bertambah, seperti menangis atau sumbatan pada pada pangkal hidung, sehingga air mata tersebut meningkat dan terlihat berair. Jika kondisi tersebut dialami si kecil, tentu Anda akan berpikir, mengapa bisa demikian? Apakah hal tersebut normal dialami oleh setiap bayi? Kata orangtua jaman dulu, biar cepet sembuh harus dijilat oleh sang ibu. Apakah teori itu benar? Lantas, bagaimana perawatannya?

Ditemukan, Vaksin AIDS pada Tubuh ODHA

PENELITI Amerika selangkah lebih dekat untuk mengembangkan vaksin melawan virus AIDS yang mematikan. Mereka menemukan antibodi yang mampu membunuh 91 persen virus HIV. Ilmuwan menemukan tiga antibodi kuat dalam sel tubuh seorang pria gay keturunan Afrika-Amerika berusia 60 tahun yang dijuluki Donor 45. Bahkan satu di antaranya adalah antibodi yang menetralisir lebih dari 91 persen virus HIV. Tubuh pria tersebut membuat antibodi secara alami. Demikian okezone lansir dari NY Daily News, Senin (12/7/2010). Dalam kasus Donor 45—yang antibodinya tidak menyelamatkan dirinya dari tertular HIV—peneliti menyaring sekira 25 juta sel untuk menemukan puluhan sel yang nantinya bisa menghasilkan antibodi yang kuat. Pria tersebut kemungkinan besar sudah tertular virus HIV sebelum tubuhnya mulai memroduksi antibodi. Hingga kini, ia masih hidup, dan telah mengidap HIV selama 20 tahun pada saat darahnya diambil.