Skip to main content

Bayi Lahir Divakum, Berbahayakah?

“KALAU nanti melahirkan, jangan mau divakum, ya? Dengar-dengar bisa menghambat pertumbuhan otak anak, loh!” Lia mewanti-wanti temannya, Rimby, yang sedang hamil 8 bulan.

Sebulan kemudian, Rimby memandangi bayinya yang baru saja lahir. Ada benjolan di kepala sang bayi. Rupanya saat bersalin tadi, dokter memutuskan – atas persetujuannya - melakukan vakum untuk membantu mengeluarkan bayinya karena ia mulai kehabisan tenaga untuk mengejan. “Bagaimana ini?” ia jadi ingat ucapan temannya.

Tindakan Aman

Banyak pendapat miring tentang dampak alat bantu vakum. Padahal, teknik membantu persalinan ini sebenarnya relatif aman digunakan apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan kompeten. Hal tersebut diutarakan oleh dr. Satrio Dwi Prasojo, SpOG dari RSIA Budhi Jaya, Jakarta.

Dikatakannya, keputusan menggunakan alat bantu vakum pada proses persalinan didasarkan pada berbagai pertimbangan. “Faktor yang utama adalah adakah indikasi terhadap ibu dan anak untuk dilakukan tindakan vakum, serta tidak ada kontra indikasi dari tindakan tersebut. Secara umum tindakan vakum adalah untuk mempercepat proses persalinan kala 2 (misalnya, ibu dengan sakit jantung, preklampsia berat, gawat janin kala 2, dan lainnya),” papar dr Satrio.

Membentuk Kaput di Kulit Kepala

Prinsip kerja alat ekstraksi vakum adalah dengan membuat tekanan negatif, sehingga akan membentuk kaput di kulit kepala bayi yang berguna sebagai tempat tarikan saat ibu mengejan.

“Pada saat dilakukan vakum, bukan seluruhnya berasal dari tarikan alat vakum terhadap bayi. Vakum hanya membantu tarikan saat ibu mengejan, bukan menggantikan tenaga ibu mengejan,” ungkap dr Satrio.

“Efek yang langsung terlihat pada bayi adalah terbentuknya kaput - kulit kepala yang menonjol pada tempat tarikan vakum - seperti ‘panjul’ di kulit kepala,” paparnya lagi.

“Komplikasi pada bayi bisa menimbulkan laserasi (lecet) pada kulit kepala , cefal hematom - benjolan yang terbentuk pada kepala tempat jejas vakum, atau perdarahan intrakranial (walau sangat jarang),” jelas dr Fahrul W Arbi SpA dari RSIA Budi Kemuliaan, Jakarta.

Mengenai benjolan di kulit kepala tadi, Moms tak perlu khawatir, hal ini tak berbahaya kok. “Hal itu akan menghilang dalam waktu 3 – 4 minggu,” hibur dr Fahrul.

Tiap Persalinan Mengandung Risiko

Yang ditakutkan oleh orangtua dengan dilakukannya vakum adalah bila terjadi komplikasi lanjut pada bayi, utamanya perdarahan pada otak. Padahal, menurut dr Satrio, setiap persalinan biasa atau persalinan yang dibantu (vakum, forseps maupun operasi cesar) dapat pula terjadi.

Ia mengutip suatu penelitian di Amerika. Data menunjukkan bahwa angka kejadian perdarahan intrakranial yang timbul pada:
- Persalinan vakum: 1 dari 860 tindakan.
- Persalinan lahir spontan: 1 dari 1900 tindakan.
- Persalinan dengan tarikan forseps: 1 setiap 600 tindakan.
- Persalinan lewat operasi cesar: 1 dari 900 tindakan.

Tak Pengaruhi Kecerdasan

Apakah benar tindakan vakum memengaruhi kecerdasan anak? Suatu penelitian pernah dilakukan Seidman, dkk (1991) untuk membandingkan tingkat inteligensi anak di West Jerusalem Hospital setelah sang anak berusia 17 tahun. Anak yang dilahirkan spontan mempunyai intelligence score: 105, kelahiran dengan forseps: 104, kelahiran dengan vakum: 105 dan dengan operasi cesar: 103. Artinya, sama sekali tak berpengaruh!

Kembali dr Satrio menegaskan, “Tidaklah beralasan bahwa vakum memengaruhi kecerdasan. Karena saat bayi divakum, kaput yang terbentuk di kulit kepala terjadi akibat tekanan negatif yang dibuat. Sama sekali tidak berpengaruh pada tulang tengkorak ataupun otak yang ada di dalam tempurung kepala,” terangnya gamblang.

Hal senada disampaikan dr Fahrul, “Vakum adalah alat yang aman untuk membantu melahirkan bayi dan tidak ada alasan yang menganggap ekstraksi vakum akan berdampak mengurangi tingkat kecerdasan anak. Jika dilakukan oleh orang yang ahli, hasilnya (kualitas) sama dengan bayi yang dilahirkan lewat persalinan normal,” tutupnya.





(Mom& Kiddie//tty)
http://lifestyle.okezone.com

Comments

Popular posts from this blog

Waspadai Bercak Putih di Retina Mata Anak

BERCAK putih di retina mata anak bisa jadi penanda awal keganasan kanker bola mata. Ini harus segera diwaspadai. Jika dilihat sepintas, tak ada yang aneh dengan Abiyyu, 12 tahun. Seperti anak-anak lain seusianya, bocah lelaki kelas enam SD Surya Bahari, Tangerang, ini tampak ceria bermain petak umpet, ikut senam kesegaran jasmani di sekolah, bertanding sepak bola, dan menjaring serangga di lapangan. Bersama dua temannya, dia juga tampak kompak menyanyikan lagu Oke milik duo T2 sambil sesekali terdengar gelak tawa khas keceriaan anak-anak. Bercak Putih Pada Mata - Tanda Kanker Retina Lantas, apa yang berbeda dari Abiyyu? Di balik kacamata yang senantiasa dikenakannya, siapa sangka bila bocah bernama lengkap Achmad Abiyyu Sofyan ini hanya punya satu mata kiri untuk melihat. Empat tahun lalu, keganasan kanker bola mata membuat Abiyyu harus merelakan bola mata kanannya diangkat untuk kemudian digantikan mata palsu yang hanya kosmetik semata. "Kata dokter, kalau tidak diangkat,

"Kok, mata anakku sering berair, ya?"

PADA bayi, saluran air mata kadang belum sempurna. Pada saat normal, air mata keluar dari kelenjar lacrimalis (memproduksi air mata) yang bertujuan agar air mata selalu basah dan lembap. Kemudian, air mata ini keluar melalui saluran di bagian ujung mata bagian dalam (medial) dan masuk melalui hidung. Secara normal, kita tidak merasa air mata itu berproduksi terus karena produksi dan pengeluarannya teratur. Keadaan berubah bila produksi air mata bertambah, seperti menangis atau sumbatan pada pada pangkal hidung, sehingga air mata tersebut meningkat dan terlihat berair. Jika kondisi tersebut dialami si kecil, tentu Anda akan berpikir, mengapa bisa demikian? Apakah hal tersebut normal dialami oleh setiap bayi? Kata orangtua jaman dulu, biar cepet sembuh harus dijilat oleh sang ibu. Apakah teori itu benar? Lantas, bagaimana perawatannya?

Ditemukan, Vaksin AIDS pada Tubuh ODHA

PENELITI Amerika selangkah lebih dekat untuk mengembangkan vaksin melawan virus AIDS yang mematikan. Mereka menemukan antibodi yang mampu membunuh 91 persen virus HIV. Ilmuwan menemukan tiga antibodi kuat dalam sel tubuh seorang pria gay keturunan Afrika-Amerika berusia 60 tahun yang dijuluki Donor 45. Bahkan satu di antaranya adalah antibodi yang menetralisir lebih dari 91 persen virus HIV. Tubuh pria tersebut membuat antibodi secara alami. Demikian okezone lansir dari NY Daily News, Senin (12/7/2010). Dalam kasus Donor 45—yang antibodinya tidak menyelamatkan dirinya dari tertular HIV—peneliti menyaring sekira 25 juta sel untuk menemukan puluhan sel yang nantinya bisa menghasilkan antibodi yang kuat. Pria tersebut kemungkinan besar sudah tertular virus HIV sebelum tubuhnya mulai memroduksi antibodi. Hingga kini, ia masih hidup, dan telah mengidap HIV selama 20 tahun pada saat darahnya diambil.